Selasa, 18 Agustus 2015

Jenis-jenis Tenunan Songket Minang

Songket Silungkang

Tenun atau menenun adalah proses pembuatan kain dengan anyaman benang pakan antara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, tongkat, bambu dan logam. Dari proses ini akan diproduksi menenun kain dan songket. Songket merupakan salah satu produk tenunan Minangkabau yang terkenal oleh masyarakat dan memiliki kualitas tinggi, bukan hanya karena keindahan kilau benang emas dalam berbagai motif yang unik tetapi juga karena fungsi sosial sebagai alat kelengkapan kostum tradisional. Songket berasal dari sungkit atau leverage yang cara untuk menambah benang pakan dan benang emas dalam berbagai pembuatan menghiasi dilakukan dengan menyulam benang lungsi. Bahan yang digunakan untuk tenun benang dari kapas, serat, sutra dan benang Macau (benang emas dan perak). Thread yang umumnya digunakan adalah impor luar negeri seperti India, Cina dan Eropa. Hiasan atau motif songket disebut Cukie, beberapa menggunakan Macau benang (benang emas dan perak), sutera dan katun berwarna. Sebuah keunikan songket Minangkabau yang lama ada adalah kombinasi dari dua atau tiga jenis benang dalam motif tunggal.
Salah satu yang terkenal penenun songket lokal di Minangkabau adalah Silungkang desa. Silungkang desa terletak di tepi jalan raya Sumatera sekitar 95 km dari selatan-timur Kota Padang. Desa ini juga terkenal dengan seni seperti kerajinan anyaman rotan, tongkat, bambu, sapu dan menenun. Songket dan sarung tangan tenunan Silungkang sudah terkenal di Sumatera Barat. Songket Silungkang juga dibuat secara tradisional, dengan alat tenun yang mirip dengan alat tenun di Pandai sikek tapi sedikit memiliki ukuran lebih besar dari alat tenun di Pandai sikek. Tenun tradisi di daerah ini umumnya dilakukan oleh perempuan dalam rumah mereka.
Sejarah Songket Silungkang
Songket Silungkang berasal dari Negara Bagian Selangor, sedangkan Songket Pandai Sikek berasal dari Silungkang dan Songket Payakumbuh berasal dari Pandai Sikek. Yang membawa ilmu songket dari Selangor ke Silungkang yaitu Baginda Ali asal Kampung Dalimo Singkek beserta hulubalang beliau yang diperkirakan pada abad ke 16 dan lebih kurang sudah sejak 400 tahun yang lalu.
Pada tahun 1910 Songket Silungkang telah berkiprah di gelanggang Internasional pada Pekan Raya Ekonomi yang berlangsung di Brussel ibukota Belgia. Yang mendemonstrasikan cara bertenun pada waktu itu yaitu Ande BAENSAH dari Kampung Malayu, dan dikala itu hanya dua daerah penghasil Songket dari Indonesia yang ikut didalam Pekan Raya Ekonomi tersebut yaitu Silungkang dan Bali. Seperti Songket Bali itu sendiri berasal dari Negeri Sungai Gangga India. Di tahun 1920, Ismail, Kampung Dalimo Godang, adik dari Ongku Palo pergi merantau kenegeri Indo Cina, seperti Vietnam, Birma dan Laos yang membawa barang dagangan berupa kain Songket, kain Batik, kain Lurik serta kain sarung Bugis dari Makasar.
Kemudian menyusul pada tahun 1921 yaitu Muhammad Yasin kampung Panai Empat Rumah pergi merantau ke Calcutta sebuah kota yang terletak diujung pantai timur India, membawa barang dagangan yang sejenis dengan barang dagang yang dibawa Ismail ke Indo China. Apa kata Om Frans dari Maluku, bagi kami orang Maluku belum bisa dibilang Dehafe (Elite) apabila salah satu keluarga disana belum menyimpan sekurang-kurangnya 20 helai kain Songket tenunan Silungkang. Begitu juga pakaian adat perkawinan di Minahasa Sulawesi Utara, seperti penganten wanitanya juga memakai kain Songket tenunan Silungkang, yang mana warga dari kedua daerah tersebut sangat bangga sekali memakai kain Songket tenunan Silungkang, sebagaimana bangganya masyarakat Minangkabau memaki kain sarung Bugis dari Makasar. Di era tahun 50-an, Abidin kampung Dalimo Godang berdagang kain Songket dengan mempergunakan jasa Pos dan mengirimkan dengan pos paket ke berbagai kota di Indonesia, antara lain : Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar.
Masih pada era yang sama, Songket Silungkang hadir sebagai peserta di arena Pasar Malam dibeberapa kota besar di pulau Jawa, seperti pasar malam Gambir di Jakarta, pasar malam Andir di Bandung, pasar malam Simpang Lima di Semarang, pasar malam Alun-Alun di Yogyakarta, pasar malam Yand Mart di Surabaya.
Pada tahun 1974 diruangan Bali Room Hotel Indonesia Jakarta diadakan pameran Industri Kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) pimpinan DR. Dewi Motik Pramono.
Dari sekian banyak hasil kerajinan industri kecil dari seluruh Nusantara yang dipamerkan pada waktu itu, merasa kagum dan bangga akan Nagari Silungkang, setelah melihat didalam sebuah kotak kaca, disana tersimpan sehelai kain Songket karya anak nagari yang telah berumur 234 tahun pada waktu itu, warna dasar merah hati ayam yang memakai benang Mokou Bulek Soriang tak sudah, bermotif Pucuk Rebung, yang mana kain Songket tersebut bukanlah milik kolektor, tetapi milik sebuah Museum di Den Haag Negeri Belanda.
Informasi dari seorang sarjana asal Koto Anau Solok, di era tahun 1990-an pernah mengikuti bidang studi di Canada, ibu kost dari sarjana tersebut menyimpan lima helai kain Songket tenunan Silungkang. Memang sudah selayaknya kampung Batu Manonggou dijadikan sebagai kawasan penghasil Songket di Nagari Silungkang, karena hampir disetiap rumah disana memiliki alat tenun (palantai) untuk memproduksi kain Songket sebagai Home Industri, istimewanya lagi bukan kaum wanitanya saja yang pandai bertenun Songket, tetapi kaum prianya juga mahir bertenun Songket.
Di masa lampau jika ada tamu yang berkunjung ke Silungkang untuk melihat bagaimana cara bertenun Songket, mereka diajak ke bawah rumah, karena disanalah diletakkan alat tenun, sekarang ini sudah ada dua show room kain Songket yang terletak ditepi jalan lintas Sumatera, lebih tepatnya dibawah kampung batu Manongou, disana juga tersedia alat tenun untuk mendemontrasikan cara bertenun Songket. Keunggulan dari kain Songket Silungkang selama ini, jika dipakai akan terlihat indah cemerlang, Songket Silungkang bukan saja berjaya di Bumi Merah Putih ini, bahkan juga berkibar dibeberapa negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis, Swiss dan Belgia bahkan ada diantara ibu rumah tangga disana yang mengoleksi kain tenun Songket Silungkang yang telah berumur antara 100 hingga 200 tahun. Bahkan di Nagari Silungkang sendiri Songket yang seumur itu sudah sangat sulit untuk ditemui.

Motif dan Ragam

Kekayaan alam Minangkabau sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam hias biasanya diberi nama tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda yang ada di alam sekitar.
Songket Silungkang motif Mera Bata
Songket Silungkang motif Mera Bata
Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah: Bungo Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-Kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigo belah, Kain Balapak Gadang, Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang, Barantai, Sisiak dan lain-lain. Sedangkan untuk hiasan tepi kain terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintahu Bapatah, Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lain-lain. Melihat bentuk ragam hiasnya, kelihatan bahwa ragam hias songket dari Silungkang terkesan lebih sederhana bila dibandingkan dengan ragam hias dari Pandai Sikek. Ragam hias Pandai Sikek kelihatan lebih rumit-rumit dan bervariasi.
Selain bersifat menghias, ragam hias kain songket tersebut juga memiliki makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “pucuak rabuang”. Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil sudah berguna bagi masyarakat. Sewaktu rebungmasih kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia).
Songket Silungkang motifi Liris Biru
Songket Silungkang motifi Liris Biru
Tenun di Silungkang telah umum jenis Batabua, songket yang dihiasi tidak memenuhi bidang kain, dan dengan beberapa dasar songket sangat polos dan beberapa kotak. Motif tenunan Silungkang berasal dari lingkungan alami seperti rabuang pucuak, bunga, motif burung, sirangkak, Balah katupek dan lain-lain. Bentuknya cukup sederhana jika dibandingkan dengan songket Pandai sikek dan tidak begitu rumit dalam proses tersebut sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam pengembangan tenun Silungkang saat ini ada juga kombinasi antara teknik tenun ikat dengan teknik songket dengan berbagai motif songket. Bahan yang digunakan hari ini kecuali kapas, ada juga telah dihias dengan benang sutra, benang Makau dan benang kapas berwarna. The Resultsof tenun Silungkang, kecuali pakaian yang dibuat ada juga kebutuhan untuk dekorasi dan aksesori lainnya. Sekarang, songket Silungkang memiliki kualitas yang cukup baik bahan, teknik manufaktur, motif dekoratif dan pemasaran, bahkan telah diproduksi juga mesin tenun dengan berbagai motif dan harga yang relatif murah. Silungkang juga dikenal sebagai pemasok lokal tenunan benang berwarna untuk kebutuhan penenun di Sumatra Barat.

Peralatan dan Bahan

Peralatan tenun songket Silungkang sama dengan tenun Pandai Sikek. Peralatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai œpanta. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), sisia (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan), pancukia (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket, dan turak (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar). Panta tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang disebut pamedangan (tempat khusus untuk menenun songket), di depannya diberi dua buah tiang yang berfungsi sebagai penyangga kayu paso. Gunanya adalah untuk menggulung kain yang sudah ditenun.
Sedangkan, yang dimaksud dengan peralatan tambahan adalah alat bantu yang digunakan sebelum dan sesudah proses pembuatan songket. Alat tersebut adalah penggulung benang yang disebut ani dan alat penggulung kain hasil tenunan yang berbentuk kayu bulat dengan panjang sekitar 1 meter dan berdiameter 5 cm.
Seorang Pandai Sikek dengan mesin tenunnya
Seorang Pandai Sikek dengan mesin tenunnya
Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut benang lusi atau lungsin. Benang tersebut satuan ukurannya disebut palu. Sedangkan, hiasannya (songketnya) menggunakan benang makao atau benang pakan. Benang tersebut satuan ukurannya disebut pak. Benang lusi dan makao itu pada dasarnya berbeda, baik warna, ukuran maupun bahan seratnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan ragam hias kain songket terlihat menonjol dan dapat segera terlihat karena berbeda dengan tenun latarnya. Di Silungkang dan Pandai Sikek tenunan dasar atau latar biasanya berwarna merah tua (merah vermillion), hijau tua, atau biru tua. Motif ragam hias Songket Silungkang selain dibentuk dengan benang mas, juga dengan benang berwarna lainnya. Oleh sebab itu, terdapat dua macam kain songket yaitu: (1) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang mas; dan (2) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk bukan dari benang yang berwarna emas. Kain songket yang motifnya dibuat dengan benang mas pemasarannya relatif terbatas karena harganya mahal dan pemakaiannya hanya pada saat ada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkawinan, batagak gala (penobatan penghulu), dan penyambutan tamu-tamu penting. Sedangkan, kain songket jenis kedua yang motifnya tidak dibuat dengan benang mas adalah untuk memenuhi pasaran yang lebih luas karena jenis ini tidak hanya untuk busana tradisional, tetapi juga untuk bahan kemeja, selendang, taplak meja dan hiasan dinding.
Sebagai catatan, pada masa lalu pewarnaan benang lusi dilakukan secara tradisional. Caranya, sebelum diberi warna, benang harus dibersihkan dari kotoran-kotoran dan unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat pewarna. Kemudian, benang diberi zat pemutih (soda abu). Zat itu dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko kimia atau apotek. Setelah itu, benang itu dibagi menjadi beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang diperlukan. Proses selanjutnya adalah mencelupkan benang tersebut ke air panas (mendidih) yang telah diberi zat pewarna tertentu (sesuai selera atau pesanan), kemudian dijemur. Saat ini proses pewarnaan dengan cara-cara tersebut sudah jarang dilakukan sebab penenun dapat langsung membeli benang-warna yang telah banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik tekstil.